Agama bersumber pada norma mutlak dan suci (perennial knowledge) dan bersifat deduktif, sehingga kebenaran tidak dapat dibantahkan. Sedangkan Sain bersumber pada logika empirik dan bersifat induktif yang dikembangkan melalui untuk mendapatkan kebeneran yang relatif. Sehingga dalam sejarah, seakan agama dan sain adalah dua perkara yang tidak dapat disatukan dalam upaya melakukan hegomoni pada corak kehidupan manusia.
Persoalan yang muncul , yaitu apa dan bagaimana hakikat agama dan sain dalam kontek kehidupan manusia.Agama dan Sain dalam analisis filosofinya lebih didekatkan pada perspektif ontologis, epistimologis, dan aksiologis.
Pendekatan Ontologis
Agama berasal dari kata religi (bahasa Inggris) dan ad-Din (bahasa Arab), secara etimologis, agama diartikan sebagai keselarasan, tidak kacau, dan tatanan dalam hidup. Sedangkan secara ontologis agama merupakan sesuatu yang tidak nampak atau abtrak. Bila makna agama ditangkap dari aspek yang nampak, maka ia akan berwujud sebagai ritual yang dilakukan oleh umat yang menganutnya.
Dengan ini, makna atau perspektif ajaran penampakan agama adalah ajaran akhlak hingga ideologi dasar, sejak perjalanan spiritual hingga kekerasan masal, dan sejak ritus khidmat, serta ceramah damagog yang menyesakkan. Sementara itu makna agama secara abstrak dapat difahami dari sisi konseptual, seperti dari konsep teologis agama, yaitu kepercayaan kepada Tuhan yang selalu hidup, yang mengatur jiwa makhluknya dan alam semesta dan mempunyai hubungan moral dengan umat manusia.
Di sisi lain, sain secara etimologi berasal dari scire (Latin), berarti mengetahui, keadaan atau fakta, mengetahui atau pengetahuan (knowledge) yang dikontraskan dengan instuisi atau kepercayaan. Secara ontologis merupakan pengetahuan sistematis yang berasal dari observasi, kajian dan percobaan yang dilakukan untuk menentukan sifat dasar atau prinsip yang dikaji. Sains dipakai untuk menunjukan pengetahuan tentang alam yang kuantitatif dan obyektif, di mana secara formal sesuatu disebut sain, dengan 3 karakteristik, yaitu, dapat dipakai untuk menunjukan beberapa jenis ilmu, dapat dipakai untuk sekelompok pengetahuan yang sistematik yang mencangkup hipotosa, teori, hukum-hukum yang telah dibentuk oleh ahli sain selama bertahun-tahun, dan dapat menunjukan suatu metode yang objektif dan dapat dibuktikan kebenaranya.
Pendekatan Epistimologis
Secara epistimologis, agama ternyata sulit didefinisikan, karena agama tidak bisa dibedakan dengan psikopatologi, juga tidak bisa dibedakan dari pendekatan lainya dalam menghadapi ultimate concern. Agama didasarkan pada analisis personal-sosial dan fungsi-substansi, sehingga pada tataran individu, secara fungsional agama merupakan apa saja yang mampu memenuhi tujuan keagamaan individu.
Pendekatan Aksiologis
Pespektif aksiologis ini berupaya melihat nilai agama dan sain yang berbeda. Menurut Kertanegara mampu memberikan penjelasan secara rinci terhadap berbagai hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal manusia. Dengan demikian agama memberikan makna yang lebih tinggi dan saling melengkapi terhadap pandangan-pandangan saintiffik dan filosofis.
Pancock menggambarkan sain dan agama sebagai suatu ontitas yang memiliki persamaan dan perbedaan, serta relasi diantara keduanya terjadi hanya dalam tataran intelektual. Hal ini didasarkan pada sebuah keyakinan bahwa manusia pada saat ini sedang menjalani dalam konstek sain.
Pergulatan antara agama dan sain telah mewarnai sejarah kehidupan manusia. Kasus eksekusi gereja atas Galileo pada abad ke 19, dan juga perdebatan panjang antara pendukung teori revolusi dan teori penciptaan, telah menjadi bukti nyata betapa konflik yang saling mengenaskan telah mewarnai antara sain dan agama.
Agama dan sain dalam pentas kehidupan manusia adalah dua entitas yang berbeda sebagai sumber pengetahuan dan sumber nilai bagi kehidupan manusia. Kendati dalam kerangka filosofi keduanya berbeda, tetapi dalam konteks historis pernah dilakukan upaya-upaya konsolidatif, baik dalam bentuk kontraproduktif maupun dalam bentuk mutualistik.
Upaya konsolidatif ini dilakukan agar diantara keduanya tidak menjadi instrumen dan medium percekcokan dan sumber konflik bagi kehidupan manusia, tetapi sebaliknya diupayakan menjadi sumber inspirasi untuk meningkatkan kearifan dan kesadaran dinamis dalam diri manusia dalam hubungannya dengan alam dan dalam hubungannya dengan sesama manusia, serta hubungan dengan Tuhan. (Agoy)
COMMENTS