![]() |
sumber ilustasi : duabahu.com |
imakews.com - “ora ngapak ora kepenak” sebuah kalimat yang dijadikan jargon oleh Ikatan Mahasiswa Kebumen (IMAKE) rayon UIN Walisongo Semarang. Terjemahan bebasnya “Tidak (berbahasa) ngapak, tidak nyaman”. Jargon tersebut dipakai untuk menggelembungkan spirit para anggota.
Melihat definisi kata jargon
di KBBI adalah
“kosakata khusus yg digunakan dl bidang kehidupan
(lingkungan) tertentu”
Sebuah kalimat yang dijadikan
sebuah jargon menjadi pembeda diantara lainnya. Dikotomi antar manusia yang
membuat kita semakin kreatif sesuai fashion-nya.
Salah satunya jargon yang digunakan oleh mahasiswa Kebumen yang sedang
menempuh studi strata 1 di UIN Walisongo Semarang.
Kehidupan Semarang yang amat
kental dengan mbandek-nya[1].
Kadangkala kita sebagai pendatang membutuhkan latihan untuk mengikuti kebiasaan
berbahasa ala Kota Lumpia. Perlu beberapa minggu untuk mempelajari bahasa
tersebut.
Berpindah dari daerah yang tidak pernah menggunakan
bahasa mbandek, tentunya sedikit lebih lama dari teman-teman yang
sudah serumpun, seperti Pati, Demak, Kendal, dll. “Bahasa adalah penyambung
lidah antar umat manusia” kata Gus Ali dalam pengajian “Riyadhus Shalihin”
ramadhan tahun kemarin. Salah satu faktor itu perlu diketahui untuk kita agar
tetap belajar bahasa selain Indonesia dan jawa ngapak.
Ngapak sangat mudah untuk mengidentifikasi
orang-orangnya ketika mengucapkan beberapa kata/kalimat. Misalnya, kencot (lapar), aja
kaya kuwe (jangan begitu), tumon (ketemu),
dll. Saya mencoba membandingkan soal per-ngapak-an dari segi
pengucapan dengan jawa mbandek. Misalnya kata loro (jawa ngapak membacanya
tetap tapi artinya “dua”) sedangkan di jawa mbandek bisa
berarti sakit ataupun dua.
Cakupan wilayah yang
menggunakan bahasa jawa ngapak cukup banyak. Mulai
dari Cilacap, Brebes, Tegal, Kebumen, Pemalang, Banyumas, Purwokerto,
Banjarnegara, Purbalingga, Wonosobo, (sebagian) Temanggung, (sebagian)
Perworejo, dan (sebagian) Pekalongan. 13 kabupaten ini memang menandakan
bahwa ngapak yang lebih terkenal di masyarakat luas adalah
bahasa Banyumasan. Akan tetapi di luar karisidenan Banyumas, seperti Kebumen,
Wonosobo, (sebagian) Purworejo, (sebagian) Temanggung yang disebut cakupan
wilayah masih berbahasa ngapak.
Dialek ngapak pun
seringkali berbeda-beda tiap daerah yang memakai bahasa tersebut. Salah
satu contoh yang familiar dan selalu hangat untuk dibahas. Kata “Langka” yang
diartikan tidak ada oleh orang Cilacap, Tegal,
(sebagian) Purwokerto, sedangkan oleh orang selain dari tiga daerah tersebut
mengartikan ada namun hanya beberapa. Tidak perlu
dipermasalahkan ke persfektif lainnya. Perbedaan penggunaan kata dalam
dialek yang masih satu rumpun dapat memperkaya khazanah kebahasaan ngapak.
Ngapak dimanapun ?
Terkadang orang luar jawa
memberikan penilaian sebuah kebingungan. “Padahal kami orang Papua berbicara
itu sudah cepat sekali, ternyata orang ngapak lebih
cepat” celotehan yang dilontarkan oleh salah seorang mahasiswa Universitas di
Papua. Penilaian yang nisbi ini pun menjalar ke berbagai
daerah, ada yang mengatakan terlalu nga-nga, pasalnya vokal “a”
akrab sekali dengan kosa kata bahasa ngapak.Memang
subjektif sih, kalau hanya melihat beberapa penilaian.
Bukan
untuk sebagai cercaan yang dianggap menghina budaya ngapak,
setidaknya ada yang kagum dan memberikan pandangan dari setiap individu soal
kebahasaan orang ngapak.
Tersebarnya orang ngapak keseluruh
penjuru dunia menjadi prospek yang bagus. Melihat kesenangan orang
berkumpul dengan yang satu dialek. Tapi juga memberikan cara
mengolah public speaking yang khas dari orang-orang ngapak itu
sendiri.
Pasti ada yang tertarik mempelajari bahasa yang satu ini.
Contoh dalang kondang asal Tegal, Ki Entus sering sekali menggunakan
bahasa ngapak dalam mengolah vokal kala membawakan tema-tema
pewayangan.
“ora ngapak ora kepenak”
memang perlu digelorakan kembali oleh kesadaran individu-individu orang ngapak.
Meski nan jauh di mata ngapak tetap bahasa kita tanpa
menafikan dimana kaki berpijak disitulah bumi dijunjung tinggi.
Memperkenalkan
kebahasaan kita yang seringkali mengundang tawa bagi mereka yang tidak mudeng. Itulah
nilai plus yang sering kita abaikan bersama oleh kawan-kawan sebahasa dan
sebangsa ngapak. “bersatu kita kompak,
berbahasa kita ngapak” meminjam jargon yang dipakai oleh Ikatan
Mahasiswa Tegal (IMT) UIN Walisongo Semarang.
Kekompakan itu memberikan
spirit tambahan untuk kita agar tetap berbahasa ngapak dan
juga belajar bahasa lain. Bukan kah memperbanyak vocabulary kebahasaan
kita memberi manfaat pada umat manusia ?
Sekilas ngapak sangat
“nyentrik” dikuping para pendengar setia bahasa jawa. Terima
kasih sudah memberi kritik dan saran. Agar kami terus berbahasa ngapak biar
tetap kompak di mata dunia. Hidup ngapak !!
Kamu juga bisa baca di Plimbi.com
Kamu juga bisa baca di Plimbi.com
COMMENTS