Matahari malu-malu di ufuk timur. Warnanya yang mempesona mengiringi para petani itu mengayuh sepeda ontel menuju ke ladang. Sesekali mereka menengok kanan kiri jalan seiring dengan berlalunya sepeda motor.
Sepanjang Jalan Adimulyo-Puring yang memanjang dari perbatasan kecamatan Karanganyar hingga kecamatan Puring begitu ramai. Jalanan didominasi oleh motor berkeranjang dan sepeda anak sekolah.
Para pedagang yang baru saja membeli barang-barang dari pasar Karanganyar untuk di jual kembali di daerah Adimulyo atau Puring. Anak-anak sekolah dari Desa Tepakyang bergerombol berangkat bersama menuju sekolah dengan mengayuh sepeda melewati beberapa jalan Adimulyo-Puring yang kanan-kiri terdapat hamparan sawah.
Jalan yang terdapat kanan-kirinya sawah dalam bahasa jawa ngapak sering disebut lobah atau bulak. Salah satu yang bulak yang sering dilewati pedagang dan siswa-siswi yang hendak kearah SMP Negeri 2 Adimulyo melalui jalan Adimulyo-Puring adalah lobah Sugih Waras. Lobah yang digunakan sebagai tapal batas antara Desa Tepakyang dan Desa Sugih Waras. Lahan kedua desa yang masih didominasi dengan persawahan. Desa Tepakyang sendiri ¾ luas wilayahnya terdiri dari areal persawahan, sedangkan Desa Sugih Waras hanya memiliki ¼ lahan areal persawahan.
Desa Tepakyang dapat di akses melalui jalan Adimulyo-Puring Km. 8. Gapura yang bertuliskan “Tepakyang Bersenyum” akan menyambut setiap kali orang memasuki wilayah tersebut. Jargon yang cukup unik dan nyentrik , membuat orang-orang yang sempat melihat tulisan tersebut menyempatkan diri untuk tersenyum sejenak.
Filosofi dari kata “bersenyum” merupakan sikap warga Desa Tepakyang yang akan berusaha bersikap ramah tamah dan menyambut, baik itu sesama warga desa maupun luar desa dengan senyuman. Dalam agama islam pun dianjurkan untuk selalu tegur sapa dan memberikan senyum karena itu sebagian dari ibadah.
Desa Tepakyang merupakan desa yang terletak di kecamatan Adimulyo kabupaten Kebumen bagian selatan. Luas wilayahnya mencapai. Rata-rata mata pencaharian penduduknya adalah bertani di sawah, pedagang, dan wiraswasta. Lahan sawah yang mencapai ¾ luas wilayah desa menjadi keberkahan tersendiri bagi warga desa Tepakyang.
Dalam bidang pendidikan masih banyak warga yang baru sadar akan kebutuhan pendidikan di zaman modern. Berdirinya pendidikan anak usia dini (PAUD) yang di prakarsai oleh beberapa ibu-ibu yang tergabung dalam komunitas “Ibu-ibu PKK’. Berawal dari sebuah kesadaran akan pentingnya pendidikan.
Hal tersebut harus ditanamkan sejak kecil, sehingga anak akan tahu pentingnya pendidikan. Di lain pihak orang tua pun akan mendapatkan manfaat dari pengenalan pendidikan sejak dini. Salah satunya, anak akan memiliki semangat mengenyam pendidikan melebih orang tuanya.
Pemerintah desa pun memberikan beberapa bantuan, berupa kelas dan alat-alat yang digunakan untuk kegiatan belajar mengajar. Pemerintah sebagai penyambung lidah masyarakat dengan pusat baik itu kecamatan,kabupaten/kota, provinsi, dan negara. Berusaha untuk menghadirkan pembaharuan proses pendidikan di desa tersebut.
Jenjang taman kanak-kanak dan sekolah dasar menjadi ajang pendidikan yang paling lama. Waktu enam tahun menjadi awal penggemblengan anak-anak. Baik secara pengetahuan atau moral yang sesuai dengan budaya setempat. Setelah lulus anak-anak sekolah di luar desa Tepakyang.
Bangunan sekolah yang satu komplek dengan pemerintah desa. Memiliki harapan kesinkronan antar wakil pemerintah untuk selalu berusaha untuk menjalankan tugasnya masing-masing. Guru-guru yang selalu berusaha untuk mendidik anak-anak agar selalu optimis mengahadapi masa depan.
Julukannya pahlawan tanpa tanda jasa layak di sematkan pasalnya mengajar di desa lebih memiliki tantangan. Anak-anak didik yang masih kekurangan informasi mendapatkan dukungan dari pemerintahan. Salah satunya kebutuhan masyarakat akan layanan berupa akses informasi. Melalui akses internet keliling, program dari Kementrian Komunikasi dan Informasi.
Kesadaran pendidikan normatif dan religius
Matahari baru saja muncul dari ufuk timur, anak-anak muda Desa Tepakyang yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) masih istiqomah dengan mengayuh sepedanya untuk sampai kesekolah yang terletak di Kecamatan Adimulyo yaitu SMPN 2 Adimulyo. Beberapa anak-anak sudah menggunakan sepeda motor karena jarak tempuh yang jauh dari rumah.
Muda-mudi yang sudah menginjak Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) terbiasa memilih sekolahan lanjutan di luar kecamatan. Pasalnya, Kecamatan Adimulyo hanya terdapat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang kurang diminati oleh anak-anak sekitar. Mereka lebih tertarik melanjutkan bersekolah di Kebumen, Karanganyar, dan Gombong.
Tamat dari SMP tidak melulu melanjutkan ke SLTA yang berbasis umum sebagai tanda sadar akan kebutuhan pendidikan. Pondok pesantren yang memiliki basis boarding school (pondok pesantren modern) ataupun Pondok Salaf[1].Kedua pendidikan ini merupakan sekolah lanjutan alternatif yang masih bisa di jangkau oleh beberapa masyarakat Desa Tepakyang.
Pondok modern biasanya pesantren sudah memiliki sekolah sendiri di lingkungan yayasan. Ini memudahkan santri-santri yang untuk mengenyam pendidikan SLTA. Pondok Salaf biasanya pesantren yang masih berbasis tradisional. Kebanyakan dari mereka tidak mengenyam pendidikan normatif. Perlu digarisi bawahi ’tidak mengenyam pendidikan normatif bukan berarti tidak ada pelajaran umum. Sebenarnya ada beberapa pelajaran umum yang disampaikan oleh pihak pondok pesantren namun disampaikan secara terbatas.
Kesadaran pendidikan normatif dan religius menjadi ‘cambuk’ bagi masyarakat Desa Tepakyang. Pendidikan yang berguna untuk menghadapi masa depan yang cerah serta menjadi harapan orang tua ataupun masyarakat agar dapat menyumbangkan moral dan moril untuk keduanya. Wujud dari pengharapan orang tua yang sering mengucapkan “Kowe tak sekolahna ben ora kaya aku (wong tuwa) mung dadi tani, mulane sing temen ulihe sekolah” (terjemahan bebasnya kurang lebihnya seperti ini.
Kamu disekolahkan oleh orang tua biar tidak seperti orang tua yang hanya jadi petani, makanya bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmunya). Dalam bermasyarakat pun anak-anak muda sudah mulai diterjunkan dalam kegiatan karang taruna ataupun beberapa event yang digagas oleh pemerintah desa.
Pendidikan yang menuntut agar setiap individunya bersumbangsih terhadap masyarakat cukup diperhatikan oleh masyarakat sekitar. Misalnya kegiatan selama bulan Ramadhan. Lurah Mejid[2] sudah mempersiapkan beberapa program kerja yang bekerja sama dengan takmir masjid antara lain membuat balon untuk meramaikan solat idul fitri. Muda-mudi pun bahu membahu untuk membuat balon berukuran 8 X 6 meter berjumlah 2-3.
Anak-anak muda yang tidak mengenyam pendidikan pondok pesantren, biasanya mereka lebih memilih untuk mengaji dibeberapa guru ngaji yang berada di rukun warga (RW) masing-masing. Cara mengajinya pun masih sorogan[3] masih digunakan oleh beberapa guru ngaji sebagai fasilitator pendidikan religius di desa.
Kurikulum yang dipakai masing-masing rukun warga (RW) disamakan. Mulai dari Iqro 1-6, Al-Quran, dan kitab kuning (Safinatun Najah, Sulam Taufiq, Ta’alim Muta’alim, dan Durorul Baiyah). Penyamaan kurikulum bertujuan agar anak-anak mengerti dasar dan yang ditubuhkan oleh kehidupan masyarakat islam dipedesaan yaitu, fiqih (hukum) dan adab belajar (Ta’alim Muta’alim).
Menjaga kebudayaan desa
Anak-anak muda yang seringkali dilibatkan dalam event-event karang taruna dan pemerintah desa memberikan efek yang positif. Kebiasaan untuk membantu dan bekerja sama dalam sebuah acara untuk selalu keja team. Bahu-membahu untuk melestarikan adat ngerameni mejid (meramaikan masjid) dengan berbagai kegiatan. Misalnya saja membaca Kitab Al-Barjanzi setiap malam selasa dan tahlil dan yasinan di malam jumat. Kegiatan tersebut menjadi tradisi warga desa turun temurun. Setiap kali acara tersebut dihelat. Maka didirikan sebuah tim inti untuk menghandle yang terdiri dari tiga anak muda/mudi yang sudah duduk di bangku kelas SMA di bimbing oleh lurah mejid. Setiap minggu tim tersebut selalu berganti-berganti agar semua anak-anak dapat merasakan.
Kegiatan ngerameni mejid bukan hanya itu sampai kegiatan rutin per minggu. Memperingati 1 Muharam (Suranan), maulid Nabi S.A.W (muludan), khotmil Al-Qur’an (Khtaman), isra’ mi’raj (Rajaban), kegiatan ramadhan (Ramadhan), nuzulal Qur’an (17 ‘an), dan 1 Syawal (Badanan), beberapa kegiatan tahunan yang membuat antusias warga desa untuk menyaksikanya.
Masjid Al-Islah sering dijadikan untuk menghelat acara dalam masyarakat desa Tepakyang. Salah satu faktornya adalah tempat berkumpul anak-anak muda dan beberapa orang tua. Koordinasi antara lurah mejid dengan anggotanya sangat mudah.
Tidak hanya budaya ngerameni masjid saja yang menjadi kegiatan para pemuda. Adanya kegiatan membantu warga yang sedang melaksanakan acara khitanan (sepitani), pernikahan (mbojo), kematian (lelayu), dll.
Kegiatan ngerameni mejid memang sebuah keharusan yang ada dalam masyarakat warga Desa Tepakyang. Budaya yang sudah turun temurun sejak Masjid Al-Islah didirikan tahun 1960 -an. Budaya yang tak pernah di tinggalkan oleh warga sekitar untuk ikut serta memakmurkan masjid. Baik berupa moral ataupun moril.
Anak muda yang dituntut oleh lingkungan/masyarakat untuk menjadi pion-pion pelaksana kegiatan masjid. Orang tua sudah menganjurkan sejak dini pada anaknya untuk sering ikut serta memakmurkan masjid. Dukungan tersebut agar anak-anak selau siap kala masyarakat membutuhkan. Terbiasa bersosialisasi dengan masyarakat menjadi poin yang amat ditekankan oleh masing-masing orang tua. Terkadang orang-orang tua nyeletuk “sedesa ora kenal, kepiwe jane wong tuwa ora ngajari anake kon serawung karo masyarakat”[4].
Orang tua di Desa Tepakyang sudah berusaha melaksanakan salah satu tujuan pendidikan negeri kita, yaitu individunya bersumbangsih terhadap masyarakat. Kegiatan -kegiatan yang sering dilaksankan oleh karang taruna, pemerintah desa, masjid, dan warga desa menjadi salah satu bentuk kecil membantu masyarakat.
Pendidikan yang aplikatif melalui nguri-nguri budaya seperti ini yang menjadi orang tua merasa nyaman akan kehidupan di desa. Harapan orang tua anak-anaknya yang berpendidikan lebih tinggi dari dirinya, tentunya agar berguna bagi nusa dan bangsa. Respon positif dari orang tua menjadi kekuatan anak-anak Desa Tepakyang untuk selalu bersemangat dalam mengenyam pendidikan.
Biografi Penulis
Fadli Rais nama yang di berikan oleh orang tua. Lahir di Paris Van Java alias Bandung 24 Januari 1996. Pindah ke Desa Tepakyang Kecamatan Adimulyo pada tahun 2006 untuk melaksanakan pengembaraan hidup di desa. Menjadi salah satu Tim Reporter di Buletin Az-Zahra SMK Negeri 1 Karanganyar pada tahun 2013 serta mengenyam pendidikan administrasi perkantoran di sekolahan tersebut lulus tahun 2014. Sekarang tinggal Gang Kedoya Desa Tepakyang Kec. Adimulyo Kab. Kebumen. Dapat dihubungi melalui nomor telepon di 0856-4377-4645 atau email: raismenulis@gmail.com.
[1] Biasanya hanya mondok. Hanya saja ada beberapa kegiatan semacam ekstrakulikuler menjahit, membuat kerajinan, dan bercocok tanam.
[2] Sebutan untuk orang yang menjadi ketua remaja masjid.
[3] Setiap individu menghadap ke guru ngaji.
[4] Satu desa tidak kenal, gimana itu orang tuanya tidak mengajari berkumpul dengan masyarakat.
COMMENTS